Hikmah Keilahian dalam Firman Tentang Adam – 1

Hikmah Keilahian dalam Firman Tentang Adam [1]

Ketika Realitas (Al Haq) ingin melihat esensi Nama-namaNya yang Indah (al Asma’ alHusnâ) atau dengan kata lain, ingin melihat EsensiNya[2] dalam sebuah objek inklusif yang meliputi seluruh perintahNya, yang di dasarkan pada eksistensi, Ia akan memperlihatkan rahasia DiriNya kepadaNya. Penglihatan terhadap sesuatu, dirinya oleh dirinya sendiri, tidaklah sama dengan melihat dirinya pada yang lain, sebagaimana dalam sebuah cermin. Sebab, ia muncul untuk dirinya sendiri dalam sebuah bentuk yang ditanamkan oleh lokasi penglihatan yang hanya muncul dengan adanya eksistensi lokasi dan penyingkapan-diri (tajallî) lokasinya terhadapnya.

Realitas (Al Haq) ini memberikan eksistensi pada seluruh kosmos, pertama kali sebagai sesuatu yang khas tanpa ruh apa pun di dalamnya, sehingga ia seperti cermin yang digosok. Dalam Hakikat penentuan Ilahi, Dia tidak menetapkan sebuah lokasi kecuali untuk menerima ruh ilahi, yang juga dikatakan dalam Al Quran dengan, “Ditiupkan kepadanya”[3] Yang terakhir ini tidak lebih daripada terwujudnya kecenderungan bentuk khas batin untuk menerima pancaran emanasi/ penyingkapan rahasia-Diri (al fayd at tajallî) yang tidak habis-habisnya, yang selalu, dan akan demikian. Di sana, hanya menerima dan penerimaan ini hanya berasal dari limpahanNya Yang Tersuci (Faydih al Aqdas), dan Realitas (seluruh wujud selain Allah dari wujud alamiyah dan ainiyah) dariNya, karena semua kekuatan untuk bertindak, atau semua inisitaif, berasal dariNya, di awal dan di akhir. Semua perintah berasal dariNya,[4] bahkan sewaktu ia mulai denganNya.

Jadi dengan watakya, perintah ilahi membutuhkan ciri reflektif dari cermin Kosmos. Adam adalah prinsip refleksi untuk cermin dan ruh dari bentuk itu, sementara para malaikat hanyalah kemampuan tertentu dari bentuk itu yang merupakan bentuk Kosmos, yang dalam terminology kaum awam disebut “manusia agung” (Al Insân al Kabîr). Dalam kaitan dengannya, malaikat diumpamakan dengan kemampuan psikis dan fisik dalam formasi manusia. Masing-masing dari kemampuan kosmik tertutup dengan dirinya sendiri (wujud yang dibatasi oleh individualitas relatifnya), sehingga ia tidak bisa mengetahui segala sesuatu yang melampauinya. Masing-masing dari kemampuan kosmik ini juga mengklaim bahwa ia mempunyai kualifikasi untuk setiap posisi yang tinggi, dan berada di tempat bersama Allah dengan keutamaan partisipasinya dalam sintesis ilahi (al jam’yyah al ilâhiyyah), yang berasal dari Hadirat Ilahi dan Realitas (haqîqah) dari segenap Realitas (al haqâiq) dan akhirnya berkenaan dengan formasi yang mengasumsikan karakteristik-karakteristik ini, dan menyerap semua reseptivitas Kosmos, lebih tinggi dan lebih rendah.

Pengetahuan ini tidak bisa dicapai dengan intelek, dengan sarana pemikiran rasional apap pun. Sebab, jenis persepsi ini diperoleh hanya dengan penyingkapan (kasf) ilahi yang darinya diperoleh asal bentuk-bentuk Kosmos yang menerima arwah.[5] Formasi yang disebutkan di atas disebut Manusia dan Khalifah Allah. Mengenai yang  pertama, ia berasal dari universalitas pembentukannya dan fakta bahwa ia meliputi semua realitas (al haqâiq). Bagi realitas (Lil Haqqi), ia adalah  sebagai murid, melalui tindakan penyaksian. Jadi, ia disebut insan, yang berarti manusia dan murid, karena dengannya Realitas (Al Haq) meperhatikan ciptaanNya dan menganugerahkan kasih – dari eksistensi – terhadapnya. Ia adalah manusia, fana dalam bentuknya, abadi dalam esensinya; ia adalah abadi, kekal, sekaligus firman yang membedakan dan menyatukan. Adalah dengan eksistensinya, sehingga Kosmos hidup dan ia, dalam hubungan dengan Kosmos adalah sebagai tanda (khatim) bagi cincin, wujud tanda yang di tempat itu dipahat dengan tanda sebagaimana Raja menandai harta-bendanya. Dengan demikian, dia disebut Khalifah, karena dengannya, Allah memelihara ciptaanNya, sebagaimana tanda itu memelihara harta benda raja. Sepanjang tanda raja ada di atasnya, tidak satu pun orang berani membukanya, kecuali dengan izinnya, tanda itu menjadi pengawas dalam tanggung jawab kerajaannya. Meskipun demikian, Kosmos dipelihara sepanjang Manusia Sempurna masih ada di dalamnya. Apakah Anda tidak melihat bahwa ketika dia akan berhenti untuk eksis di dalamnya, dan ketika tahda – dalam perbendaharaan itu – dari dunia itu pecah, tidak satu pun dari apa yang dipertahankan Realitas akan dipikulnya, dan semua dari tanda itu akan menghilang. Masing-masing bagian, oleh karena itu menjadi bersatu kembali dengan setiap bagian lain, setelah keseluruhan ditransfer ke Tempat Terakhir, dimana Manusia Sempurna akan menjadi tanda untuk selamanya.

== be continue …


[1]     Edisi Inggris. R.W.J Austin, Ibn al ‘Arabî: the Bezel of Wisdom. New York: Paulist Press 1980. Yang di edit disesuaikan dengan edisi asli Arabnya oleh Abû al ‘Āla Āfifi, Fusus al Hikam. Beirut: Dar Al Kitab al ‘Ārabi, t.t. Penambahan Kutipan terjemahan disini pun berdasarkan Edisi Asli Arab Sarh fusus al Hikam. Mustafâ Bâli Zâdah al Hanafi. Dar Ak Kotob Al Ilmiyah. Lebanon. 2007.

[2]     Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz Dzariyaat [51] : 56. Kuntu Kanjan mahfiyyan fa ahbabtu an ‘urofa fa khalaktu al khalqa likai ‘urafa; Aku adalah khazanah tersembunyi, lalu aku ingin dikenal maka Aku ciptakan makhluk agar aku di kenal”. (Ad Durul al Mansur dalam hadis mashur imam as syuyuti : 126).

[3]     Dan (ingatlah kisah) Maryam yang Telah memelihara kehormatannya, lalu kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari kami dan kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. (QS. Al Anbiyaa [21] : 91).

Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud[796]. (Qs. Al Hijr [15] : 29).

[4]     Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. dan Hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan. (QS. Al Baqarah [002] : 210). Sesungguhnya keadaan [urusannya]-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia. (QS. Yaasin [36] : 82

[5]     Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya (Qâf : 37).

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.