Hikmah 2 ; Ahli Asbab dan Ahli Tajrid

Irâdatukattajriid ma’a iqâmatilah iyyâka filasbâb minasyahwatil khafiyyah wa irâdatukalasbâb ma’a iqâmatillahi iyyâka fittajrîdi inhithâtun ‘anilhimmatil ‘aliyyah

Keinginanmu bertajrid padahal Allah masih meletakkanmu dalam maqam asbab merupakan syahwat yang samar, sebaliknya keinginanmu untuk berasbab padahal Allah telah meletakkan kamu dalam maqam tajrid berarti penurunan dari cita-cita (himmah) yang tinggi.

Hikmah Pertama, menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup di dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab.

Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal, akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab-akibat yang mempengaruhi segala kejadian. Setiap sesuatu terjadi menurut sebab yang menyebabkan ia terjadi. Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas jejak sebab dalam menentukan akibat. Kerapian sistem sebab-akibat ini membuat manusia mengambil manfaat dari anasir dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan anasir yang memudaratkan kesehatan lalu menjauhkannya dan manusia juga dapat menentukan anasir yang menjadi obat lalu menggunakannya. Manusia dapat membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letusan gunung berapi dan lain-lain karena sistem yang mengawal perjalanan anasir alam berada dalam suasana yang sangat rapi dan sempurna membentuk hubungan sebab-akibat yang padu.

Allah swt menciptakan sistem sebab-akibat yang rapi untuk kemudahan manusia menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan panca indera manusia mampu membuka kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab-akibat. Hasil penelitian dan kajian akal itu melahirkan berbagai jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, seperti ilmu sains, astronomi, kedokteran, teknologi dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat. Kerapian sistem sebab-akibat menyebabkan manusia terikat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada jejak sebab dalam menentukan akibat serta bersandar kepadanya dinamakan ahli asbab.

Sistem sebab-akibat atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah swt. Mereka melakukan sesuatu dengan yakin bahwa akibat lahir dari sebab, seolah-olah Allah swt tidak ikut campur dalam urusan mereka. Allah swt tidak menyukai hamba-Nya yang “mempertahankan” suatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah swt tidak menyukai jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan-Nya dan kekuasaan-Nya dengan anasir alam dan hukum sebab-akibat ciptaan-Nya. Dia yang menciptakan jejak kepada anasir alam, maka berkuasa pula membuat anasir alam itu menjadi lemah. Dia yang menciptakan kerapian pada hukum sebab-akibat, maka berkuasa pula untuk merombak hukum tersebut. Dia mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi dengan membawa mukjizat yang dapat merombak hukum sebab-akibat untuk mengembalikan pandangan manusia kepada-Nya, agar imajinasi (wahm) terhadap sebab-akibat tidak menghijab ketuhanan-Nya. Kelahiran Isa as, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa as, hilangnya kekuatan membakar yang ada pada api tatkala Nabi Ibrahim as masuk ke dalamnya, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad aw dan banyak lagi yang didatangkan Allah swt merombah jejak hukum sebab-akibat untuk menyadarkan manusia tentang hakikat bahwa kekuasaan Allah swt yang melingkupi perjalanan alam maya dan hukum sebab-akibat. Alam dan hukum yang berlaku padanya seharusnya membuat manusia mengenal Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebagian dari manusia diselamatkan Allah swt dari imajinasi (wahm) sebab-akibat.

Sebagai manusia yang hidup dalam dunia, mereka masih bergerak dalam sistem sebab-akibat tetapi mereka tidak meletakkan jejak hukum kepada sebab. Mereka senantiasa melihat kekuasaan Allah swt yang menetapkan atau mencabut keberlakuan suatu hukum sebab-akibat. Jika suatu sebab berhasil memunculkan akibat sebagaimana yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah swt yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah swt juga yang memunculkan akibatnya. Allah swt berfirman:

Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Hadid: 1-2).

Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 73).

Orang yang meyakini kekuasaan Allah swt melingkupi hukum sebab-akibat tidak meletakkan jejak kepada hukum tersebut. Kepasrahannya hanya kepada Allah swt, bukan kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang seperti ini dipanggil ahli tajrid.

Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum. Ahli tajrid memanaskan dan memasak juga dengan menggunakan api. Ahli tajrid juga melakukan suatu pekerjaan untuk memperoleh rizki. Tidak ada perbedaan di antara amal ahli tajrid dan ahli asbab. Perbedaannya terletak di dalam diri, yaitu hati. Ahli asbab meyakini kepada kekuatan hukum alam, sebaliknya ahli tajrid meyakini kepada kekuasaan Allah swt pada hukum tersebut. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah swt, tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan kebaikan ahli asbab melakukan mujahadah. Mereka memaksa dirinya berbuat baik dan menjaga kebaikan itu agar tidak rusak. Ahli asbab memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan melindungi keikhlasannya agar tidak dirusak oleh riya (berbuat baik dengan memperlihatkan kepada orang lain agar dikatakan sebagai orang baik), takabur (sombong dan merasa diri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik dari orang lain), dan sum’ah (mencari perhatian orang lain atas kebaikan dirinya dengan cara menceritakan agar orang lain mengakui bahwa dia adalah orang baik). Jadi, ahli asbab memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga setelah melakukannya. Suasana ahli tajrid berbeda dari apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, ahli tajrid tidak bersandar kepada ikhlas karena mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Kebaikan apapun yang dilakukannya diserahkan kepada Allah swt yang mengaruniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak menentukan apakah perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keikhlasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila merasa dirinya sudah ikhlas, sesungguhnya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riya, ujub (merasa diri sudah baik) dan sum’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyadari perbuatan itu, barulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Orang tajrid yang diberi keikhlasan oleh Allah swt mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah swt. Jadi, orang asbab bergembira karena melakukan perbuatan ikhlas, orang tajrid meyakini bahwa Allah swt yang menentukan semua peristiwa. Ahli asbab senantiasa bersyukur, ahli tajrid berada dalam kepasrahan.

Kebaikan yang dilakukan ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah swt yang memandu kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan ahli tajrid merupakan karunia Allah swt untuk semua manusia yang tidak mempedulikan diri dan kepentingannya. Ahli asbab meyakini kepada jejak hukum sebab-akibat. Ahli tajrid meyakini kepada jejak kekuasaan dan ketentuan Allah swt. Sebagian ahli tajrid meyakini kekuatan hukum sebab-akibat. Orang-orang ini bukan sekadar tidak melihat kepada jejak hukum sebab-akibat, mereka meyakini Allah swt menguasai hukum sebab-akibat. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Para nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan karamah. Mukjizat dan karamah merombak jejak hukum sebab akibat.

Para wali pilihan yang dikaruniai kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu seperti Syeikh Abdul Kadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim bin Adham, dan lain-lain. Cerita tentang kekaramahan mereka sering terdengar. Orang yang cenderung kepada tariqat tasawuf biasanya meneladani kehidupan auliya Allah swt tersebut, dan yang mudah memikat perhatian adalah bagian kekaramahan. Karamah biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah swt. Timbul anggapan bahwa jika mau memperoleh karamah seperti mereka, mestilah hidup sebagaimana mereka. Orang yang berada pada tingkat permulaan bertariqat cenderung memilih jalan bertajrid, yaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah swt. Sikap bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, istri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan karena dia melihat Sayidina Abu Bakar as-Siddik berbuat demikian. Ibrahim bin Adham meninggalkan takhta kerajaan, istri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang berbuat demikian tidak dapat bertahan lama. Hasilnya dia mungkin meninggalkan tariqatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupannya yang lebih buruk daripada keadaannya karena dia mau menebus kembali terhadap apa yang telah ditinggalkannya untuk bertariqat. Keadaan yang demikian terjadi akibat bertajrid. Orang yang baru masuk ke dalam latihan keruhanian sudah mau beramal seperti auliya Allah swt yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan dirinya. Tindakan meninggalkan semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan cibiran dan fitnah yang dapat menggoncangkan iman dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan auliyah Allah swt yang telah mencapai maqam yang tinggi. Seseorang harus melihat kepada dirinya dan mengenal kedudukan, kemampuan, dan daya tahannya. Ketika masih berada dalam maqam asbab, seseorang harus bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk memperoleh rizki dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya dari bahaya atau kemusnahan.

Ahli asbab harus berbuat demikian karena dia masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih meyakini bahwa tindakan makhluk memberi efek terhadap dirinya. Oleh karena itu wajar sekiranya dia mengadakan tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah swt menjadikan seseorang pada kedudukan ahli asbab ialah apabila urusan dan tindakannya sesuai dengan hukum sebab-akibat dengan tidak mengabaikan kewajiban terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa ringan untuk berbakti kepada Allah swt, tidak berlebihan dengan nikmat duniawi dan tidak merasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum sebab-akibat maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi goncangan besar yang menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah swt. Ruhaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolak ke dalam maqam tajrid sebelum benar-benar kuat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.

Ada pula orang yang dipaksa takdir supaya bertajrid. Orang ini awalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana kebanyakan manusia. Kehidupan seperti itu kemungkinan tidak memberikan kematangan ruhaninya. Diperlukan perubahan jalan baginya supaya berkembang dalam bidang keruhaniannya. Oleh karena itu takdir memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya menyelesaikan masalah. Sekiranya dia seorang raja, maka takdir mencabut kerajaannya. Sekiranya dia seorang hartawan, maka takdir menghapuskan hartanya. Sekiranya dia seorang wanita cantik, maka takdir menghilangkan kecantikannya. Takdir memisahkan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Menerima ketetapan takdir yang demikian pada peringkat permulaan bagi ahli asbab akan membuatnya berikhtiar menurut hukum sebab akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak berdaya untuk menolong dirinya, dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas berikhtiar termasuk meminta bantuan kepada orang lain, kekuatan takdir tetap merombak sistem sebab-akibat yang terjadi atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada takdir. Dalam keadaan begitu, dia akan lari kepada Allah swt dan “merayu” agar Allah swt menolongnya. Pada peringkat ini seseorang akan kuat beribadah dan menumpukan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehingga dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. Hilanglah harapannya untuk memperolehnya kembali. Dia merasa ridha dengan perpisahan ini. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan, sebaliknya dia menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Dia menyerah secara total kepada Allah swt, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah swt yang bertajrid. Apabila seorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah swt akan mengurus kehidupannya. Allah swt menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:

Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 60).

Makhluk Allah swt seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rizkinya oleh Allah swt. Jaminan Allah swt itu meliputi juga untuk manusia. Tanda bahwa Allah swt memberikan karunia kepada hamba-Nya yang berada di dalam maqam tajrid ialah dengan memudahkan rizki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rizkinya atau ketika menerima cobaan.

Bila ahli tajrid dengan sengaja memindahkan dirinya kepada maqam asbab, maka hal ini bermakna bahwa dia melepaskan jaminan Allah swt lalu bersandar kepada makhluk. Hal ini menunjukkan kebodohannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah swt. Tindakan yang bodoh itu menyebabkan berkurangnya atau hilangnya keberkahan yang telah Allah swt karuniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai pekerjaan tetap kecuali membimbing masyarakat kepada jalan Allah swt; walaupun tidak mempunyai pekerjaan tetap, namun rizki datang kepadanya dari berbagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pembelajaran yang disampaikan kepada masyarakat sangat berkesan sekali. Keberkahannya terlihat sekali, seperti doanya makbul dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Seandainya dia meninggalkan suasana tajrid lalu berasbab karena tidak puas hatinya dengan rizki yang diterima, maka keberkahannya akan hilang. Pembelajarannya, doanya, dan ucapannya tidak memiliki efek seperti ketika bertajrid. Ilham yang datang kepadanya menjadi tersendat-sendat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasanya.

Seorang hamba harus menerima dan ridha dengan kedudukan yang Allah swt karuniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah swt dengan yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah swt mengetahui apa yang pantas bagi setiap makhluk-Nya. Allah swt sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.

Keinginan kepada pertukaran maqam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disadari. Nafsu di sini mencakup kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesadaran dirinya kembali maka akan muncul kembali keinginan, cita-cita, dan angan-angannya. Nafsu mencoba untuk bangkit kembali menguasai dirinya. Orang asbab perlu menyadari bahwa keinginannya untuk pindah kepada maqam tajrid mungkin secara halus digerakkan oleh ego yang tertanam jauh di dalam jiwanya. Orang tajrid perlu menyadari bahwa keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasawuf mengatakan seseorang mungkin dapat melampaui semua maqam nafsu, tetapi nafsu pada level awal tidak kunjung padam. Oleh karena itu perjuangan atau mujahadah dalam kerangka mengawasi nafsu harus senantiasa berjalan.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.