Archive for the Hikam – Syekh Abdullah Asy-Syarqawi Category

Al-Hikam Ke-05 : Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (3)

Posted in Hikam, Hikam - Syekh Abdullah Asy-Syarqawi on April 28, 2023 by jamiludin

اِجْتِهَادُكَ فِيمَا ضُمِنَ لَكَ، وَ تـَقْصِيْرُكَ فِيمَا طُلِبَ مِنْكَ، دَ لِيلٌ عَلَى انـــْطِمَاسِ الْــبَصِيْرةِ مِنْكَ

“Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.”

Ulasan Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Maksud dari “apa yang telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ دَاۤبَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَاۖ اللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 60)

Sementara itu, maksud dari “kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti dzikir, shalat, dan wirid.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56)

Yang dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan dzikir-dzikir kepada Allah Ta’ala dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.

Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafadz “kegigihan” untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya. Wallaahu a’lam

Key Semesta Kimia

Rahmat dan karunia telah Allah berikan semuanya inilah jaminan yang telah Allah berikan kepada seluruh makhluknya. Kekurangan kita adalah kualitas penghambaan kita di hadapan Allah. Karena itu yang harus diperjuangkan adalah meningkatkan kualitas ibadah kita, meningkatkan kualitas bekerja kita sehingga mencapai kualitas bekerja yang bernilai ibadah. Meningkatkan kualitas ibadah dan ingatan kita kepada Allah (dzikir) dengan senantiasa menjaga kehadiran Allah dalam seluruh gerak dan hembusan nafas kita.

Al-Hikam Ke-04 : Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (2)

Posted in Hikam, Hikam - Syekh Abdullah Asy-Syarqawi on April 28, 2023 by jamiludin

أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ

“Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur.”

Ulasan Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Seseorang kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai dengan keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yang telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yangg telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.

Dengan menggunakan lafadz “istirahat”, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, “Perencanaan adalah setengah dari kehidupan.”

Urusan-urusan yang telah diatur Allah Ta’ala hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yang telah ditangani Allah Ta’ala karena tindakan semacam itu termasuk sikap “sok tahu” yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rububiyah (kepengaturan) dan takdir Allah Ta’ala, selain juga bisa melalaikan ibadah.

Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan dzikir-dzikir dan ibadah-ibadahnya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan dzikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berdzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan dzikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih. Wallaahu a’lam

Key Semesta Kimia :

Senantiasa menata hati dan jiwa dengan dzikir dan riyadlah. Ingatlah Allah dalam setiap aktivitas, sempurnakan amal lalu bertawakalllah.

Al-Hikam Ke-3 ; Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (1)

Posted in Hikam, Hikam - Syekh Abdullah Asy-Syarqawi on April 28, 2023 by jamiludin

سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ

“Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir.”

Ulasan Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tekad adalah kekuatan jiwa yang bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah Ta’ala.

Hikmah di atas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir dan izin Allah Ta’ala, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala di dalam hatimu yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil. Wallaahu a’lam

Key Semesta Kimia

Bekerjalah yang terbaik sesuai maunya Allah, bukan maunya kita. Kalau sesuai maunya kita, bahkan dengan tekad yang kuat sekalipun tidak akan memberikan jaminan keberhasilan sedikitpun.

2. Hikam – Ulasan Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Posted in Hikam, Hikam - Syekh Abdullah Asy-Syarqawi on October 11, 2018 by jamiludin

Sikap Orang ‘Ârif ketika dianugerahi Ahwal Tajrîd dan Ahwal Isytighâl

 

Keinginanmun untuk lepas dari kesibukan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad yang luhur.

Your desire for isolation, even thought God has put you in the world to gain a living, is a hidden passion. And your desire to gain a living in the worl, even thought God has put you in isolation is a comedown from lofty aspiration.

 

Tajrîd adalah sebuah kondisi dimana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, Isytighâl adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yang dimaksud dengan kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang.

Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.

Dianggap “syahwat” karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang mendatangimmu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.

Orang ‘Ârif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murîd yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun bagi diri murîd itu. Karena bisa jadi, murîd itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia.

Sebaliknya keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada sang Khalik.

Sebenarnya, berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karenai itu, yang wajib bagi para sâlik (peniti jalan menuju Allah) ialah tetap diam di tempat yang telah ditetapkan dan di ridlai Allah untuknya, sampai Allah sendiri yang mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah, Naudzubillâh.

 

1. Hikam – Ulasan Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Posted in Hikam, Hikam - Syekh Abdullah Asy-Syarqawi, Uncategorized on October 10, 2018 by jamiludin

Sikap Orang ‘Ârif Ketika Khilaf

 

Di antara tanda tanda sikap mengandalkan amal ialah

Berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf

One of the signs of relying on one’s ow deeds is

The loss of hope when a downfall occurs.

Amal yang dimaksud di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan zikir. Ada dua kelompok yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka padad amal ibadah (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah para abîd (orang yang tekun beribadah) dan para murîd (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Swt, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukâsyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.

Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.

Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik (arîf). Mereka tidak bergantung sedikitk pun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah Swt., semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakkan dari semua tindakan dan ketentuan Allah Swt.

Dalam hikmah di atas, Ibn Atha’ilah menyebut salah satu tanda orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bias mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan kepada Allah yang Maharahmat yang akan memasukannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan yang ‘âbid atau murîd. Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan ‘ârif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan ‘ârif akan melihat perbuatannya itu sebagai takdir Allah atas dirinya.

Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyâhadah (merasa melihat Tuhan), golongan ‘ârif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah, dan ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepadaNya.

Maka dari itu, siap yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqâm (kedudukan) ‘ârif dengan banyak melakukan olah batin (riyâdhah) dan wirid.

Melalui hikmah di atas, Ibn Atha’illah ingin mendorong para sâlik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah; termasuk bergantung pada amal ibadah.